September, 13th 2013
Batang
hidungnya tak pernah absen dari penglihatanku, bersama sapu lidi dan pengki
yang selalu setia menemaninya. Seorang bapak berseragam oranye yang sudah tidak
lagi muda, menampakan giginya yang mudah sekali dihitung dengan jari tangan setiap
kali ia tersenyum.
Dari pagi
hingga malam berada di stasiun, membersihkan sampah-sampah dengan dua alat
perangnya. Menyapa para calon penumpang yang berada di stasiun, termasuk aku.
Dengan wajah
yang sudah dipenuhi oleh kerutan, ia menyapaku yang sedang duduk menunggu
kereta api dengan senyumnya sembari menyapu-nyapu, tidak terlihat letih di
wajahnya walau seragam yang dikenakan sudah terlihat kotor. Nada semangat
terdengar dalam kalimat yang diucapkannya padaku, “Kan enak ya kalau begini,
jadi bersih.”
Hari itu
sampah memang terlihat banyak sekali di sekitar stasiun, kertas-kertas struk
berserakan, seakan lepas dari tangan pemilik yang tidak mempedulikannya lagi.
Entah mengapa sang pemilik tidak memasukan ‘mereka’ ke dalam rumahnya -- tempat
sampah.
Tapi bapak
itu, masih dengan bibir yang melengkung ke atas dan tangan yang terus
mengayunkan sapu, berjalan dari ujung stasiun ke ujungnya lagi, untuk dua peron
seorang diri. Tidak jarang juga ia membiarkan dirinya melompat kebawah rel
untuk mengambil sampah-sampah dalam selokan yang posisinya tepat berada di
samping rel yang taruhannya adalah nyawa. Membiarkan dirinya kotor demi bersih.
Kemudian aku
berpikir, sebenarnya siapa yang tukang sampah?
Kita atau bapak
tua itu?
With love,
No comments:
Post a Comment